“Keluar sekarang juga!”
“Tapi Din… “
“Aku bilang keluar sekarang juga!”
“Tapi kamu masih sakit, gimana caranya aku ninggalin kamu sendirian kaya gini? Enggak. Aku akan tetap di sini, nemenin kamu.”
“Dri, kamu tahu kan aku paling benci dikasihani? Keluar!” Aku mulai
geram hingga beranjak dari tempat tidurku dan menunjuk pintu keluar.
Entah apa yang di kepala Adrian, aku sudah berapa kali menolaknya. Untuk
apa jatuh cinta lagi kemudian patah hati? Bukankah segala hal yang
lahir akan berakhir mati?
Adrian menundukkan kepalanya, beranjak dari kursinya dan kemudian
memelukku dengan erat. Kami direngkuh sunyi, hanya detik jam dan detak
dada kami yang bernyayi nyeri.
“Berhentilah keras pada dirimu sendiri, Dina.” Suara berat Adrian
mengisi setiap ruang telingaku, segera kulepaskan pelukannya dan
menamparnya. Adrian terkejut dan hampir terjatuh, pipinya masih memerah
karena tamparanku.
“Diam! Pergi sekarang juga. Aku bilang, pergi sekarang juga!”
Adrian tersenyum, kemudian berusaha menyelami mataku dengan teduhnya.
Aku membuang mataku ke luar jendela, menyimpan rapat gerimis-gerimis
yang lelah beberapa tahun belakangan ini. Adrian tidak juga melangkahkan
kakinya keluar, ia bahkan kini duduk di kasur ini. Merapikan perhelai
rambutku yang sedikit tersisa, yang kerap berjatuhan di wajah dan
menaruhnya di belakang telinga. Aku segera menepis tangannya.
“Jangan sentuh aku!” Aku menelan matanya dengan kerut di alisku dan membuang lagi ke arah jendela itu.
“Dina, kamu berhak marah sama masa lalu, kamu pun berhak marah dengan
keadaanmu. Tapi, apa salahku, Din? Apa aku gak berhak untuk tinggal
lebih lama di sini, setidaknya ngejagain kamu sampai benar-benar pulih.”
Aku terdiam, menelan nyeriku sendiri. Aku tahu benar, aku tak akan
benar-benar pulih. Hari bagiku, adalah detik-detik yang semakin lama
mencekik leherku perlahan, mengingatkanku tidak ada pulang sebaik
kematian. Mungkin Adrian benar, aku marah terhadap masa lalu dan
keadaanku sekarang. Aku pernah terlelap di manisnya gulali yang
diberikan Putra, kekasihku dulu. Sebelum akhirnya ditertawai oleh
dialog-dialog usang perihal perjuangan yang ditumpulkan keadaan. Aku
menjadi pintu yang terkunci, menolak kedatangan yang kelak hanya menjadi
jejak langkah-langkah kehilangan. Aku berhenti percaya, bahwa bahagia
itu benar ada. Terlebih, ketika Dokter mulai beralih fungsi menjadi
Tuhan – menghitung mundur usia.
“Din, aku gak akan maksa kamu lagi untuk jadi pacarku kok. Aku janji,
aku akan pergi dari sini, bahkan dari hidupmu jika kamu mau, setelah
aku yakin kamu pulih dan bisa berdiri sendiri lagi. Tapi untuk sekarang,
izinin aku untuk tetap tinggal ya?”
Aku terbeliak mendengar kata-kata Adrian, menatapnya dan ikut tenggelam dalam kesedihan matanya.
Apa Adrian bersungguh-sungguh? Dia akan pergi?
Aku tertunduk, mataku nyalang tersesat di jemari sendiri. Aku
mendengar dinding-dinding ruang ini semakin mencibir, mempertanyakan
serapah yang kurapal di langit-langit. Sungguhkah kepergian Adrian yang
kuingini?
“Antar aku ke beranda depan.”Adrian segera membopong badanku
perlahan, membantuku berjalan menuju beranda depan kamarku. Kemudian,
didudukannya aku di kursi dengan sangat hati-hati dan mencuri keningku
dengan bibirnya.
“Tunggu sebentar ya?” Adrian segera berlalu menuju kamarku lagi dan
datang kembali dengan dua cangkir dan seteko teh yang tak lagi hangat.
Adrian tampaknya tidak peduli, Ia tetap menuangkan kedua cangkir hingga
penuh dan menaruhnya saling berhadapan. Kemudian, Adrian duduk tepat
dihadapanku sambil tersenyum.
“Mari rayakan pagi ini, setidaknya. Mungkin ini pagi terakhir yang bisa kulewatin bareng kamu, kan?”
Pagi ini menjadi sangat hening, aku hanya mendengar angin berbisik
lirih tentang kehilangan dan degup yang saling memaki keadaan. Mataku
semakin lelah mencari jalan pulang, di kepalaku jalang. Adrian
menenggelamkan jemariku di jemarinya, perlahan dan semakin kuat.
“Dina, aku gak peduli ya, jika kelak kamu akan botak ditelanjangi
penyakit sialan itu atau seburuk apapun wajahmu ditelan keadaan. Aku
juga gak peduli, semuak apa kamu sama aku, apapun yang terjadi, aku akan
tetap ada di sini.”
Mendung itu buncah, di pipiku. Tak ada lagi awan pekat di kantung
mataku yang sanggup menahan. Egoku luruh dengan semua yang Adrian
lakukan dan katakan.
“Kamu tahu kan, umurku mungkin gak lebih dari semusim. Untuk apa memulai yang kamu tahu akan berakhir?”
“Bukankah akhir adalah lahirnya sebuah awal? Seperti detik yang
berhenti di pukul dua belas malam, sebelum akhirnya melahirkan hari
baru. Aku gak peduli, sedikit apa waktu yang kita punya, Din. You know that i love you, don’t you? Would you just let me in and make you happy even just for a while?”
Adrian benar, jika akhir adalah lahirnya sebuah awal. Seharusnya aku
tidak sepicik ini memanjakan keadaan. Seandainya ini adalah benar
sebuah akhir, setidaknya aku harus bisa mengakhirinya dengan
kebahagiaan, bukan? Bukankah setiap orang pantas untuk bahagia?
Aku menemukan diriku asing, di kegetiran sebuah cangkir. Pada pagi
yang kerap berjanji, dengan dua cangkir yang terisi penuh dan senyumnya
kini. Adakah kemarau kini sedang mencair, menari di kepalan takdir dan
aku mulai jatuh cinta lagi?
Knock knock knock!
“Mbak Dina, yuk sudah saatnya kemotherapi. Dokter Frans udah nungguin tuh di ruang therapy.”
- karya; iitsibarani_