Sebelum Kemerdekaan
Perkembangan transportasi udara di Indonesia tidak terlepas dari sejarah transportasi udara Belanda yang pada waktu itu menjajah Indonesia. Sesudah Perang Dunia I, negara di Eropa (termasuk Belanda) berlomba-lomba menghubungkan daerah jajahan mereka dengan negerinya. Dalam rangka untuk menghubungkan negerinya dengan daerah jajahannya tersebut (K. Marsono SH, LLM, Transtel Indonesia 1996:32), Belanda mengadakan penerbangan pertama ke Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1924 yang dilakukan oleh kapten penerbang A. N. G. Thomassen. Penerbangan tersebut mendarat di Cililitan, yang sekarang bernama Halim Perdana Kusuma Internasional Airport pada tanggal 24 November 1924 dengan menggunakan pesawat uadara jenis Fokker 7b.
Penerbangan komersial pertama dilakukan oleh KLM yang kembali ke Netherlands pada tanggal 23 Juli 1927, dimana penerbangan tersebut digunakan untuk mengangkut surat-surat dan kartu natal. Perusahaan ini (KLM) mempunyai tugas untuk menghubungkan Netherlands dan East Indies (Indonesia) sebagai angkutan udara internasional. Untuk angkutan udara dalam negeri East Indies (Indonesia), sebuah perusahaan penerbangan “The Royal Air Transportation Company” diberi konsesi untuk mendirikan “Koninklijke Nederlands Indische Luchtvaart Maatschappij” (KNILM) yang diberi hak monopoli untuk melakukan angkutan udara di Indonesia, KNILM didirikan pada tanggal 15 Februari 1928.
Sesudah Kemerdekaan
Pada
tahun 1947, Direktorat penerbangan Sipil, Seksi Angkutan Udara Republik
Indonesia yang dikepalai oleh A.R. Soehoed, mengirim R 1001 “Seulawah”
ke Calcutta, India. Pengiriman tersebut dimaksudkan untuk menambah tanki
bensin agar dapat melakukan penerbangan lebih jauh. Karena keadaan
perang pada waktu itu, pesawat tersebut tidak mungkin kembali ke
Indonesia, maka pesawat udara tersebut diterbangkan ke Birma untuk
dioperasikan di sana.
Kegiatan
operasi penerbangan di Birma sepenuhnya merupakan penerbangan niaga
dengan konsesi penerbangan carter. Penerbangan inilah yang merupakan
angkutan udara komersial pertama yang dilakukan oleh bangsa Indonesia.
Setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia, pesawat tersebut
kembali ke Indonesia.
Selanjutnya,
pada tahun 1950 didirikan perusahaan penerbangan dengan nama Garuda
Indonesia Airways N. V. (K. Martono SH, LLM., dalam tulisannya Sistem
Penyelenggaraan Angkutan Udara di Indonesia, Transtel Indonesia, 1996 :
33). Perusahaan penerbangan tersebut didirikan dengan modal gabungan
antara pemerintah Republik Indonesia dengan KLM. Dalam perkembangan
selanjutnya perusahaan penerbangan tersebut dinasionalisasikan oleh
pemerintah. Disamping Garuda Indonesia Airways, pemerintah Indonesia
pada tahun 1962 mendirikan pula sebuah perusahaan penerbangan bernama PN
(sekarang PT) Merpati Nusantara Airlines yang ditugaskan terutama untuk
melakukan penerbangan dalam negeri (lokal).
Sesuai
dengan kebijaksanaan multi airlines system (sistem banyak perusahaan
penerbangan) sejak tahun 1971, lahirlah perusahaan-perusahaan
penerbangan nasional, baik penerbangan berjadwal maupun tidak berjadwal.
Walaupun permintaan transportasi udara telah terpenuhi, namun armada
perlu lebih ditingkatkan lagi. Oleh karena itu, pemerintah membuka
kesempatan bagi penerbangan umum untuk melayani kebutuhan angkutan udara
perusahaan bersangkutan. Di samping penerbangan reguler tersebut,
terdapat pula penerbangan haji untuk menunjang kebebasan beragama,
transmigrasi untuk membantu program nasional penyebaran penduduk,
penerbangan perintis untuk membuka daerah terisolir dan penerbangan
individu maupun olahraga untuk mengembangkan kesadaran udara.
Perkembangan Rute Penerbangan
Sebagaimana ditetapkan pada Keputusan Menteri Perhubungan No. KM. 126 tahun 1990 tentang rute penerbangan, pembagian rute penerbangan bagi perusahaan angkutan udara berjadwal ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Dasar pertimbangan pembagian rute penerbangan antara lain status atau sifat perusahaan, keseimbangan supply dan demand, kepemilikan atau penguasaan pesawat subsidi silang, pangkalan induk (home base), dan kemampuan bandara.
Perkembangan Rute Penerbangan
Sebagaimana ditetapkan pada Keputusan Menteri Perhubungan No. KM. 126 tahun 1990 tentang rute penerbangan, pembagian rute penerbangan bagi perusahaan angkutan udara berjadwal ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Dasar pertimbangan pembagian rute penerbangan antara lain status atau sifat perusahaan, keseimbangan supply dan demand, kepemilikan atau penguasaan pesawat subsidi silang, pangkalan induk (home base), dan kemampuan bandara.
Pada pasar jasa penerbangan di Indonesia, dewasa ini menghadapi persaingan yang semakin ketat. Dengan adanya deregulasi di bidang penerbangan, kenaikan harga minyak, serta bayangan resesi, menambah tingkat persaingan untuk bekerja dengan lebih efisien lagi. Rute penerbangan merupakan satu hal yang vital bagi perusahaan penerbangan, karena dari segi pengoperasian rute penerbangan inilah didapat revenue perusahaan. Dengan demikian, perusahaan dituntut untuk melakukan penanganan yang lebih serius dalam penentuan rute yang harus dilaluinya dengan jenis pesawat yang akan dipergunakan dalam melayani rute tersebut.
Jalur
atau rute penerbangan di Indonesia terdiri dari jalur penerbangan dalam
negeri (domestik), jalur penerbangan perintis dan jalur penerbangan
luar negeri. Jalur penerbangan dalam negeri yang dilayani perusahaan
penerbangan berjadwal menghubungkan semua kota-kota besar di seluruh
Indonesia. Setiap perusahaan penerbangan berjadwal melayani jalur
penerbangan yang berbeda dari jalur penerbangan perusahaan penerbangan
berjadwal lain.
Jadwal
yang sesuai dengan kebutuhan penumpang merupakan salah satu hal yang
penting. Sebagai dasar bagi mereka untuk melakukan pemilihan pemakaian
penerbangan. Untuk itu perusahaan penerbangan harus dapat mengatur
penerbangan hingga dapat memberikan kepuasan kepada penumpang, yaitu
berupa kesempatan yang lebih besar untuk melakukan perjalanan sesuai
dengan waktu yang diperlukan yang dapat memberikan keuntungan maksimum
kepada perusahaan penerbangan tersebut.
Sejalan
dengan meningkatnya keperluan akan jasa transportasi udara, yaitu jalur
penerbangan dalam negeri terus ditambah dari 115 rute pada tahun 1974
menjadi 240 rute pada akhir tahun 1992, yang menghubungkan 27 ibukota
propinsi, 228 kota kabupaten dan 246 kota kecamatan. Beberapa jalur
penerbangan perintis yang telah berkembang dijadikan bagian dari
jaringan penerbangan dalam negeri. Penerbangan antara kota-kota yang
lalu lintas penumpangnya padat dapat dilakukan dengan penerbangan
shuttle, yaitu pesawat terbang yang berdinas atau melakukan perjalanan
pulang-pergi, seperti antara Jakarta-Surabaya, Jakarta-Semarang,
Jakarta-Medan, dan Jakarta-Palembang.
Dengan kepadatan jumlah penumpang pada jalur-jalur tertentu seperti tersebut di atas, maka frekuensi penerbangan ditambah menjadi lebih dari tiga kali sehari atau lebih dari lima kali sehari apabila pada waktu libur. Pada saat ini terdapat tidak kurang dari dua puluh sembilan perusahaan penerbangan nasional yang diberi konsesi penerbangan berjadwal. Dua buah perusahaan berjadwal adalah milik pemerintah (Garuda Indonesia Airways dan Merpati Nusantara Airlines), sedangkan sisanya milik perusahaan penerbangan nasional.
Sejalan dengan meningkatnya keperluan akan jasa transportasi udara, jaringan penerbangan dalam negeri terus ditambah, beberapa jalur penerbangan perintis yang telah berkembang dijadikan bagian dari jaringan penerbangan dalam negeri. Penerbangan antara kota-kota lain yang lalu lintas penumpangnya padat dilakukan dengan penerbangan shuttle, seperti rute penerbangan Rute Jakarta-Palembang. Dimana pada rute penerbangan Rute Jakarta-Palembang, jumlah penumpangnya terus meningkat sehingga frekuensi penerbangan ditambah menjadi lima kali dalam satu hari.
Sesuai dengan kebijaksanaan yang diambil Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, pada prinsipnya pihak swasta diberi kesempatan untuk lebih banyak dalam penyediaan kapasitas angkutan udara. Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 126 tahun 1990 tentang rute penerbangan bagi perusahaan angkutan udara berjadwal ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.
Jalur
penerbangan perintis yang dilayani oleh perusahaan penerbangan milik
pemerintah (BUMN) seperti PT. Garuda Indonesia dan PT. Merpati Nusantara
memiliki frekuensi dan kemampuan penerbangan lebih besar dibandingkan
dengan perusahaan penerbangan swasta yang tidak berjadwal. Jalur
penerbangan perintis dibuka dibeberapa daerah yang semula terisolasi,
seperti Irian Jaya, Maluku, Kalimantan, NTT, NTB dan pantai barat
Sumatera. Penerbangan perintis antar daerah hampir tidak ada, sebab
penerbangan antar daerah sudah dilayani penerbangan berjadwal, dan sudah
lebih dari delapan puluh lokasi dicakup dalam jaringan penerbangan
perintis.
(Dari berbagai sumber)